Karya Sunan Kalijaga |
Kelembutan hati Sunan Kalijaga terlihat dari buah karya fenomenalnya yang tetap eksis sampai saat ini dengan tembangnya “Lir-ilir”. Lagu yang dulu sering aku dengar dan aku dendangkan ini, kini sudah mulai tergeser dari peradaban zaman. Sehingga jarang yang mengetahui baik secara makna dan sejarahnya. Bait-bait penuh akan makna dan pendidikan ini sekarang jarang dinyanyikan oleh anak-anak, bahkan mereka jarang mendengarnya. Mereka tak lagi suka dengan lagu tersebut. Malah justru mereka lebih suka dengan nyanyian yang kurang mendidik. Mereka tak pandai lagi menyanyikan lagu ini, malah justru mereka lebih pandai melagukan bait-bait cinta yang kurang pantas untuk dinyanyikan anak-anak zaman sekarang.
Berikut ini saya akan mengulas sedikit tentang makna dari karya sang sunan Kalijaga. Dan mari kita uraikan bersama-sama.
“ Lir-ilir, lir ilir Tandure wis sumilir
Tak ijo royo-royo
Tak senggo penganten anyar
Bocah angon-bocah angon
Penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekno
Kanggo mbasuh dodot iro 2x.
Dodot iro.. dotot iro….
Kumitir bedah ing pinggir
Dondomono jlumatono
Kanggo sebo mengko sore.
Mumpung padang rembulane
Mumpung jembar kalangane
Yo surak`o……….. Surak iyo!”
Tak ijo royo-royo
Tak senggo penganten anyar
Bocah angon-bocah angon
Penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekno
Kanggo mbasuh dodot iro 2x.
Dodot iro.. dotot iro….
Kumitir bedah ing pinggir
Dondomono jlumatono
Kanggo sebo mengko sore.
Mumpung padang rembulane
Mumpung jembar kalangane
Yo surak`o……….. Surak iyo!”
Dari tembang di atas sungguh akan terlihat kandungan luar biasa yang tersirat, begitu menyentuh dan mampu menggetarkan jiwa bagiku. Kanjeng Sunan memberikan pelajaran hakikat kehidupan dalam bentuk syair yang indah yang mengandung sastra di dalamnya dan mudah diingat dari berbagai kalangan. Coba mari kita kupas bait perbait dari makna tembang ini:
1. Lir-ilir, lir-ilir. Tembang ini dimulai dengan ilir-ilir. Bahasa yang kanjeng sunan pakai adalah bahasa yang sudah amat tua (walaupum ada yang mengatakan bahwa masih ada bahasa yang lebih tua lagi dari pada bahasa kanjeng sunan) Yang tidak terpakai lagi pada zaman sekarang. Akan tetapi dalam bait itu masih tetap tersirat bahwa islam sudah mulai mengalir di tanah jawa. Di tanah yang masyarakatnya rusak, dan menyembah berhala. Begitu terasa sekali kekaramahan beliau saat menempatkan bait ini di awal. Begitu indah sekali. Mebangunkan hati yang kering dan haus akan rahmat-Nya, menyadarkan jiwa yang telah lama tertidur.
2. Tandure wis sumilir, Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar. Kemudian dilanjutkan dengan bait berikutnya, bait ini mengandung makna bahwa keadaan masyarakat tempo dulu yang rusak sebelum masuknya islam dan akhirnya mereka mengenal nilai-nilai keislaman. Keadaan islam sudah mulai tercermin dalam kehidupan mereka. Dan mereka sama berbahagia dengan kedatangan islam di tanah mereka, mereka menyambutnya dengan hati yang lapang. Suatu kebahagiaan yang tak terkira. Seperti bahagianya pengantin baru yang dipaparkan oleh kanjeng sunan pada waktu itu.
3. Bocah angon-bocah angon penekno blimbing kuwi, Lunyu-lunyu yo penekno kanggo mbasuh dodotiro. Bait ini memberikan petunjuk bahwa kita semua diibaratkan seperti anak gembala, apa yang kita gembala? ya diri kita sendiri yang perlu kita gembala, nafsu kita yang perlu kita jaga, kita didik dan kita jadikan kendaraan untuk bisa mencapai buah dari pohon itu.
Buah dalam bait tersebut adalah rukun islam (digambarkan dengan buah belimbing, karena buah tersebut bersisi lima) yang mengajak kita untuk mendekatkan diri kita kepada Allah. Meski begitu susah untuk menggapai dan memegang teguh rukun islam, kita tetap di tuntut untuk terus mengapainya. Karna dengannya, kita akan menghiasi diri kita dengan taqwa. Bukankan Rasululah telah member itahukan bahwa pakaian terbaik manusia adalah taqwa? Dan kita akan menggunakan sebagai pakaian kita (taqwa).
4. Dodotiro-dodotiro kumitir bedah ing pinggir, Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore. Dalam bait ini menggambarkan bahwa dodot iro (Pakaian kita) itu telah banyak yang robek, dalam arti kita telah banyak melakukan maksiat, berbuat dholim terhadap diri kita sendiri yang tanpa kita sadari perlahan semua itu telah mengikis rasa ketaqwaan kita terhadap Allah. Untuk itu dondomono (rajutlah/jahitlah) yang berarti kita harus memperbaiki keadaan kita sesegera mungkin. Meperbaiki segala kondisi kita dengan memperbanyak amal shaleh, meninggalkan perbutan keji dan mungkar—adalah merupakan cara untuk merajut pakaian taqwa kita, yang kemudian kita gunakan untuk menghadap Allah suatu saat nanti.
5. Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane, Yo surako… surak iyo… Bait ini mengingatkan kita untuk cepat-cepat mendekatkan diri kita, sedari kesempatan masih ada. Kesempatan di mana nyawa masih menggantung, kesempatan untuk menghirup sepuasnya udara yang tak pernah kita sadari bahwa itu adalah rahmat-Nya yang begitu besar akan tetapi malah kita sering mempergunakannya untuk bermaksiat di atas buminya dan melupakan-Nya.
Tidak sadar bahwa kita adalah milik-Nya, dan tidak sadar bahwa kita selalu diawasi-Nya. Kenapa harus rembulan yang dilantunkan? Karena rembulan itu tidak akan berlama-lama menyinari dunia. Kapanpun ia bisa pergi menurut batas waktu yang telah ditentukan. Dan dengan batas waktu itu pula nyawa kita telah ditentukan masanya. Tanpa kita sadari kapan ia akan pergi dari diri kita.
Dan setelah kita sadar akan semuanya itu (bahwa kita harus bergegas untuk bertaqwa) maka berbahagialah bagi orang-orang yang telah mampu bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, dan mari bersama-sama kita mendekatkan diri kepada Allah `Azza wa Jalla, Tuhan semesta Alam
Untuk itu mari kita dendangkan kembali lagu ini. kita kenalkan kepada generasi penerus kita. Agar mereka tahu akan nilai-nilai yang terkandung didalamnya, nilai-nilai yang amat-sangat berharga bagi kita. Bukan malah sebaliknya—mendendangkan lagu yang justru perlahan merusak moral kita dan membuat hati kita keras seperti batu. Na`udzu billah min dzalik tsumma na`udzubillah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar