Knowledge Management
Belajar tiada akhir, demikianlah tipe karyawan yang diinginkan oleh perusahaan sekelas Toyota. Toyota mengajar untuk terus berbuat dan memberikan yang terbaik hari ini, lebih baik dari kemarin. Oleh karena itu, knowledge management menjadi penting di Toyota. Dominasi penjualan hanyalah sebagian dari kisah yang ada. Toyota membuktikan kepada orang-orang dalam industri bahwa perusahaan ini punya kemampuan menulis ulang aturan yang ada dalam industri. Taiichi Ohno – mantan executive vice president Toyota – tokoh kunci dari pengembangan sistem manufaktur TPS (ciri khas Toyota) mengatakan bahwa: “Ada yang salah kalau karyawan tidak memerhatikan apa yang ada di sekelilingnya, menemukan hal-hal yang monoton atau membosankan, kemudian menulis ulang prosedur yang ada. Manual bulan lalu pun seharusnya sudah usang”. Sehingga sangat disadari oleh seluruh manajemen dan eksekutif di Toyota bahwa elemen utama dalam menjaga utuhnya budaya yang sama di Toyota setelah bertahun-tahun adalah mendorong karyawan mencari cara-cara baru dan berbeda untuk berkontribusi. Toyota mengajari karyawan untuk berpikir seperti Toyota adalah miliknya sendiri (sense of ownership) dan mencari cara yang lebih baik untuk melakukan perbaikan dalam pekerjaan. Dengan demikian karyawan dipacu untuk memahami bahwa produksi sebagai sebuah sistem dan bukannya serangkaian urutan kejadian yang tidak saling berkaitan, serta menggambarkan standardisasi sebagai pergerakan spiral yang terus membumbung tinggi. Dengan kemampuan knowledge management dan sense of ownership yang tinggi maka akan tercapai efisiensi dan efektifitas produksi yang tertinggi. Karena di Toyota intinya adalah: kalau suatu proses atau aktivitas tidak menambahkan nilai, singkirkan. Tentu Toyota punya deksripsi pekerjaan untuk setiap karyawannya, tetapi itu hanya sebagai panduan. Karyawan lebih didorong untuk melewati batasan deskripsi pekerjaan dan bersifat kreatif. Dan perusahaan sama sekali tidak menghemat pengeluaran untuk melakukan sesuatu yang dianggap benar. Kami tidak butuh orang yang genius. Kami butuh orang-orang yang mau bertanya, bertanya, dan bertanya. Ketika mereka menemukan akar penyebab suatu masalah, langsung lakukan perbaikan. Kemudian, bagi dan sebarkan setelahnya. ”Kalau karyawan hanya melakukan apa yang diperintahkan kepada mereka, Anda akan terus menerus menemukan cacat di akhir proses produksi. Kami ingin karyawan melakukan lebih dari yang diperintahkan dan bersikap kreatif, membangun kualitas ke dalam proses yang ada”, Mitsuo Kinoshita, mantan executive vice president Toyota. Para eksekutif Toyota memiliki minat penuh pada pengembangan sumber daya manusia. Mereka meyakini bahwa ini adalah tugas mereka dan bukan sekedar tanggung jawab mereka, tetapi takdir, demi perusahaan. Seorang individu dengan pola pikir pemberontak tidak punya tempat di Toyota, yang berprinsip bahwa setiap aspek bisnis atau kehidupan betapapun baiknya, masih bisa diperbaiki. Karenanya pendapat yang mengatakan bahwa satu proses atau fungsi tidak bisa diperbaiki lagi dianggap setara dengan pengkhianatan.
Rasa Hormat Pada Orang Lain, Termasuk Karyawan
Kebangkitan perlahan Toyota diwarnai stabilitas, pertumbuhan, dan evolusi yang terus berlanjut di atas dasar kekuatan struktur manajemen yang memberdayakan karyawan, mengubah manajer dan pemimpin menjadi fasilitator serta pelatih, bukan sebagai bos dan otokrat. Dalam berbagai rapat senior, pertanyaan dilontarkan secara profesional, sesuai ajaran rendah hati Toyota, tetapi para peserta diharapkan menghindari dugaan, kabar burung, atau opini yang tidak berdasar serta harus siap memberikan fakta atau kembali ke sumber untuk melakukan lebih banyak riset. Penekanan terus-menerus untuk kembali ke sumber memaksa manajer dan eksekutif turun satu atau dua tingkat lebih rendah untuk mencari fakta, juga membantu. Mantra bisnis Toyota bukan hanya pendapatan dan keuntungan bersih per triwulan, tetapi juga tentang cara mengembangkan karyawan setiap hari. Cara perusahaan menangani karyawan barunya juga sama pentingnya bagi kesukesannya seperti caranya mengatur arus komponen ke pabrik-pabrik perakitan. Rahasia kesuksesan Toyota terletak pada cara perusahaan melakukan pendekatan terhadap bisnisnya secara keseluruhan dengan fokus mendasar pada ”rasa hormat pada karyawan”. Dengan tetap berfokus pada idealisme yang tinggi, dan dengan cara mengimplementasi serta menjaga struktur bisnis yang mendorong setiap karyawan terlibat aktif dalam mencapai tujuan perusahaan. Otomatisasi tanpa dasar intelegensi manusia, tanpa welas asih, hanya akan menciptakan dunia yang dingin dan kurang memberi pemenuhan. Orang yang ingin unggul dalam bekerja harus menjadi pemikir efektif yang memahami kemampuan mereka berkontribusi, baik pada diri sendiri maupun masyarakat luas lewat pekerjaan sehari-hari. Di Toyota, ”Karyawan tidak begitu memikirkan diri sendiri. Mereka punya ego yang lebih kecil dan tidak terlalu banyak sikap ’saya melakukan ini demi diri sendiri’”: demikian disampaikan oleh Jim Press. Jim Press adalah eksekutif yang meninggalkan Ford di tahun 1970 dan memilih untuk bergabung dengan Toyota pada tahun tersebut. Sebagai orang Amerika, Jim Press adalah pemimpin puncak Toyota non-Jepang yang berhasil menerapkan nilai-nilai Toyota dalam hidupnya sendiri, dan kemudian menjadi panutan bagi karyawannya. Dalam suatu wawancara, dia dengan sopan minta diri sejenak saat menerima pesan singkat dari seorang koleganya. Dan ketika kembali berulangkali meminta maaf sembari berkata bahwa telepon itu bukan hanya penting, tetapi juga sangat mendesak. Bandingkan dengan banyaknya manajer menengah ke atas akhir-akhir ini yang seringkali mengabaikan orang yang berbicara di depannya – bahkan dalam pertemuan resmi sekalipun – karena asyik bercengkerama lewat jaringan telepon selular miliknya. Juga di beberapa kesempatan Jim Press sering kali menyampaikan dengan rendah hati bahwa kontribusinya ke Toyota tidak lebih besar daripada seorang karyawan yang baru masuk. Padahal semua orang tahu betul bagaimana dia sangat berperan dalam perkembangan Toyota di USA.
Pemimpin Bertindak Sesuai Ucapan
Pemimpin harus bertindak sesuai ucapan mereka, mulai dari atas sampai bawah. Para pemimpin Toyota senantiasa menyatukan ucapan dengan perbuatan mereka. Gary Convis, senior executive adviser Toyota, tidak hanya mengkhotbahkan cara unik bisnis Toyota; dia menjalani hal itu setiap hari – menjalankan filosofi menghormati orang lain. Sebagaimana juga Jim Press yang sudah disampaikan sebelumnya. Walaupun mendapat bayaran tinggi, para eksekutif Toyota tidak digaji setinggi atlet profesional, apalagi gaji eksekutif perusahaan kompetitor – satu kebijakan yang sejak dulu sudah ada dalam prinsip pendirian perusahaan: kerendahan hati, berhemat, dan rasa hormat. Sudah menjadi tradisi di Jepang bahwa CEO mendapat gaji tidak lebih dari 17 kali gaji karyawan yang dibayar per jam. Para manajer dan karyawan yang mengejar gratifikasi cepat dari imbalan besar jangka pendek seperti profit triwulan atau bonus besar sembari menghindari upaya membuat perencanaan jangka panjang organisasi hanya berusaha menguntungkan diri sendiri sembari menghalangi kesempatan perusahaan mencapai kejayaan besar. ”Toyota menghindari elitisme dan kepemimpinan yang bersifat otokratis, menawarkan pengajaran langsung dalam lingkungan demokratis”, kata Tatsuro Toyoda.”Kami tidak lagi main golf”, kata Jim Press – dan kegiatan luar kantor lainnya yang berpotensi mengasingkan sebagian karyawan. Toyota tidak hanya sanggup beradaptasi, tetapi juga secara aktif memupuk evolusi perusahaan ketika perubahan dibutuhkan demi perbaikan masa depan. Toyota mengembangkan sistem yang memberdayakan karyawan dan tidak mementingkan kekuatan manajemen. Di situlah kecantikan Toyota; memperlakukan orang dengan penuh hormat dan apa pun yang diberikan orang itu dalam konteks budaya tersebut.”
Manajemen Jangka Panjang
Ford, General Motors, dan yang lain memang telah mendiskusikan serta bahkan mengimplementasikan berbagai aspek dari banyak rencana janga panjang, tetapi eksekusi mereka sering kali bersifat jangka pendek. Toyota memilih bergerak selangkah demi selangkah dan mengharuskan pola pandang jangka panjang dengan interval 3, 5, 10, 15 dan 20 tahun. Gary Convis: ”Landasan kami adalah stabilitas. Stabilitas kami datang dari pendekatan jangka panjang”. Toyota tidak mempertaruhkan masa depan pada suatu tren. Fokus seharusnya tidak pada angka-angka positif saja, tetapi pada hal-hal yang menyumbang angka-angka itu, seperti melayani pelanggan dengan lebih baik dan berkontribusi pada masyarakat. Kata Jim Press, ”Tujuan kami bukanlah menjual lebih banyak mobil. Tujuan kami adalah memberi kualitas kepada pelanggan. Kalau kami melakukan pekerjaan dengan baik, penjualan akan meningkat, tetapi tujuan kami bukanlah penjualan dan keuntungan yang lebih besar. Kami bekerja untuk pelanggan. Kami berusaha memberi mereka ketenangan hati. Menang berarti mendengar dan menanggapi konsumen, bukan hanya mengatakan kepada mereka apa yang mereka butuhkan atau harus inginkan. Toyota juga sangat sadar bahwa pelanggan merasa lebih dekat dengan perusahaan yang mengambil posisi aktif di tingkat lokal dan regional. Mendirikan operasi perusahaan saja belum cukup; harus ada kemitraan dalam bisnis dan dengan masyarakat. Dan pada titik yang paling tinggi, maka masyarakat juga akan menjadi “pembela” bagi perusahaan sewaktu perusahaan menghadapi kesulitan.
Toyota bukannya tidak pernah berbuat salah – sama sekali tidak. Bedanya, Toyota biasanya menanggapi masalah ketika ada isyarat kecil masalah muncul. Untuk bisa lebih baik setiap hari, masalah harus selalu didahulukan – selalu. Ini bukan berarti Toyota ingin mencari-cari masalah. Mendahulukan masalah berarti selalu berupaya memperbaiki masalah yang ada terlebih dahulu, karena jika didiamkan maka akan membesar dan menjadi masalah yang semakin sulit ditangani. Jika masalah sudah tertangani, maka budaya memberikan yang lebih baik akan semakin mudah dilakukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar